Sesekali aku perhatikan mereka satu persatu, aku tidak pernah tau
alasan mereka berbuat seperti itu, namun perkiraanku pasti mereka
orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku
tertawa, aku menertawakan mereka dan diriku sendiri, ku lihat wajahku di
cermin yang kusam, menatap diri lebih dalam, dan kini aku menangisi
diriku sendiri. Aku kehilangan arah, dan kini aku tidak memiliki tujuan,
aku hanya ingin bebas terlepas. Berlari hingga aku merasa lelah. Tidak!
Aku tidak akan lelah untuk berlari!
“Mengapa kamu bawa dia kesini? Maksudmu apa? Apa kamu sudah tidak
suka dengan keberadaanku di rumahmu?” kemarahanku mulai bergejolak, saat
ku lihat Guru SMA-ku tiba-tiba ada dalam kamar, dia sudah menunggu
kedatanganku ternyata.
“Jangan marah pada Nina. Ibu yang sengaja datang kesini Vin. Tenangkan dirimu dulu.” Ia medekatiku, memberikan sentuhan lembut pada pundakku.
“Mau apa kesini?” Tanyaku ketus.
“Ibu melihat kamu berada di gang itu tadi. Apa yang kamu lakukan?” Tanya dia dengan lembut.
“Bukan urusanmu!”
“Apa kamu..?” Kini dalam inotasinya ia menyimpan kecurigaan.
“Tidak! Dalam hidupku aku tidak pernah sekalipun melakukan hal itu, hal yang kamu lihat di gang tadi. Sekalipun tidak!” aku meninggikan nadaku.
“Lalu mengapa kau kesana? Ceritalah pada Ibu. Percayakan pada Ibu, Vina.” Aku terdiam, mengatur amarah dan kecewaku..
“Ketika aku lahir, semua keluarga sangat bahagia, terlebih kedua orang tuaku. Saat itu aku terlahir premature, kata Mamah aku terlahir sangat kecil, tapi sangat mengemaskan, apalagi saat aku mulai tumbuh sebagai balita sehat. Mamah sering cerita masa-masa kecil diriku. Aku banyak disukai orang-orang, dulu sebelum aku pindah ke tempat ini, para tetangga sering menculikku, dan ketika mereka menggembalikan aku, aku sudah dalam keadaan bersih rapih dan tentunya cantik, mereka memandikanku, memakaikan baju baju bagus. Aku terkaget ketika mendengarkan cerita itu, aku berfikir pasti mamah dan ayah begitu bangga dengan diriku, yaa diriku saat masih kecil. Sekarang aku sudah mulai dewasa, umurku telah menginjak 18 tahun. Kehidupan yang ku jalani sekarang, sebelumnya tidak pernah terfikirkan. Sungguh! Ibu tidak merasakan bagimana hidup ditempat yang tidak semestinya. Rasanya setiap hari aku hanya bisa menghirup udara kotor, hingga aku sesak! Aku ini hanya manusia biasa.” Ibu menatap Iba diriku yang mulai bercucuran air mata, entah air mata pertanda sedih atau terharu bercerita masa kecil. “Sejak aku kecil sebenarnya aku sering menemui hal-hal janggal dalam keluarga ini.”
“Jangan marah pada Nina. Ibu yang sengaja datang kesini Vin. Tenangkan dirimu dulu.” Ia medekatiku, memberikan sentuhan lembut pada pundakku.
“Mau apa kesini?” Tanyaku ketus.
“Ibu melihat kamu berada di gang itu tadi. Apa yang kamu lakukan?” Tanya dia dengan lembut.
“Bukan urusanmu!”
“Apa kamu..?” Kini dalam inotasinya ia menyimpan kecurigaan.
“Tidak! Dalam hidupku aku tidak pernah sekalipun melakukan hal itu, hal yang kamu lihat di gang tadi. Sekalipun tidak!” aku meninggikan nadaku.
“Lalu mengapa kau kesana? Ceritalah pada Ibu. Percayakan pada Ibu, Vina.” Aku terdiam, mengatur amarah dan kecewaku..
“Ketika aku lahir, semua keluarga sangat bahagia, terlebih kedua orang tuaku. Saat itu aku terlahir premature, kata Mamah aku terlahir sangat kecil, tapi sangat mengemaskan, apalagi saat aku mulai tumbuh sebagai balita sehat. Mamah sering cerita masa-masa kecil diriku. Aku banyak disukai orang-orang, dulu sebelum aku pindah ke tempat ini, para tetangga sering menculikku, dan ketika mereka menggembalikan aku, aku sudah dalam keadaan bersih rapih dan tentunya cantik, mereka memandikanku, memakaikan baju baju bagus. Aku terkaget ketika mendengarkan cerita itu, aku berfikir pasti mamah dan ayah begitu bangga dengan diriku, yaa diriku saat masih kecil. Sekarang aku sudah mulai dewasa, umurku telah menginjak 18 tahun. Kehidupan yang ku jalani sekarang, sebelumnya tidak pernah terfikirkan. Sungguh! Ibu tidak merasakan bagimana hidup ditempat yang tidak semestinya. Rasanya setiap hari aku hanya bisa menghirup udara kotor, hingga aku sesak! Aku ini hanya manusia biasa.” Ibu menatap Iba diriku yang mulai bercucuran air mata, entah air mata pertanda sedih atau terharu bercerita masa kecil. “Sejak aku kecil sebenarnya aku sering menemui hal-hal janggal dalam keluarga ini.”
“Mah, ayah kemana? Ko ga pulang-pulang” Tanya diriku polos.
“Ayah sekarang kerjanya jauh. Jadi pulangnya lama.” Jawab mamah sambil membuatkan makanan untukku.
“Mamah udah ini mau pergi kerja lagi ya?”
“Iya, hati-hati di rumah ya. Jangan nakal. Nurut sama Ibu.” Nasehat mamah yang selalu di sampaikan sebelum pergi kerja. Sejak kecil aku di asuh oleh kakak Mamahku, aku memanggilnya Ibu.
“Ayah sekarang kerjanya jauh. Jadi pulangnya lama.” Jawab mamah sambil membuatkan makanan untukku.
“Mamah udah ini mau pergi kerja lagi ya?”
“Iya, hati-hati di rumah ya. Jangan nakal. Nurut sama Ibu.” Nasehat mamah yang selalu di sampaikan sebelum pergi kerja. Sejak kecil aku di asuh oleh kakak Mamahku, aku memanggilnya Ibu.
Setelah lama tidak berjumpa dengan Ayah, mungkin lebih dari 2 bulan,
akhirnya saat aku asik menonton tivi aku melihat sosoknya. Sosoknya yang
saat itu terasa sangat tinggi, aku sangat sulit menggapai rambutnya.
Aku hanya bisa mengenggam tangannya dan bergelantungan di kakinya yang
jenjang.
“Ayaaaaaaaaaaaahh!!” aku memanggilnya kencang. Aku merasa sangat bahagia saat itu, jika sekarang aku teringat hal itu, perasaan sangat bahagia itu mucul kembali.
Kemudian aku digendongnya. Aku tidak mau turun dari pangkuannya, tidak mau lepas dalam pelukannya. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku masih merindukannya. Tapi rasa kebahagiaan itu sejenak hilang tergantikan dengan rasa ketakutan yang sangat mendalam, hingga kini tidak terhapus dari rekaman dalam otakku. Tapi aku kecil tidak tahu menahu, yang ku tahu ada sesosok lelaki yang tanpa permisi, Dia masuk rumah dengan mengacungkan pisau, ujung pisau itu mengkilat, aku berlindung dibalik kaki Ayah. aku kenal lelaki itu. Aku sangat takut tapi tidak menangis atau berterik, lalu aku di tarik oleh Ibu dan langsung di bawa ke kamar. Kemudian aku hanya bisa mendengar, aku mendengar mereka saling berteriak, suasana menjadi gaduh. Ibu keluar kamar dan aku dengar, ibu menyuruh Ayah untuk pergi. Sesaat suasana yang gaduh menjadi tenang setelah suara bantingan pintu yang sangat kencang serasa meledak di telingaku.
“Ayaaaaaaaaaaaahh!!” aku memanggilnya kencang. Aku merasa sangat bahagia saat itu, jika sekarang aku teringat hal itu, perasaan sangat bahagia itu mucul kembali.
Kemudian aku digendongnya. Aku tidak mau turun dari pangkuannya, tidak mau lepas dalam pelukannya. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku masih merindukannya. Tapi rasa kebahagiaan itu sejenak hilang tergantikan dengan rasa ketakutan yang sangat mendalam, hingga kini tidak terhapus dari rekaman dalam otakku. Tapi aku kecil tidak tahu menahu, yang ku tahu ada sesosok lelaki yang tanpa permisi, Dia masuk rumah dengan mengacungkan pisau, ujung pisau itu mengkilat, aku berlindung dibalik kaki Ayah. aku kenal lelaki itu. Aku sangat takut tapi tidak menangis atau berterik, lalu aku di tarik oleh Ibu dan langsung di bawa ke kamar. Kemudian aku hanya bisa mendengar, aku mendengar mereka saling berteriak, suasana menjadi gaduh. Ibu keluar kamar dan aku dengar, ibu menyuruh Ayah untuk pergi. Sesaat suasana yang gaduh menjadi tenang setelah suara bantingan pintu yang sangat kencang serasa meledak di telingaku.
Malam datang, kejadiaan tadi siang belum bisa terlupakan. Aku yang
tadinya aktif malam ini cenderung pendiam. Aku tidak mau makan, aku
tidak bisa tidur dan aku sangat gelisah. Aku masih mencerna kejadiaan
apa yang tadi siang aku lihat. Lalu Ayah sekarang ada di mana. Apakah
dia baik-baik saja? Aku benci dia yang membawa pisau itu!
Keesokan paginya aku diajak ibu untuk ke rumah tetangga, tiba-tiba
rasa bahagia itu muncul kembali, aku melihat Ayah. Aku digendongnya dan
duduk dalam pangkuannya. Ternyata Ayah baik-baik saja. Tapi sayang
lagi-lagi aku tidak bisa berlama-lama dengan Ayah. Dia pergi dengan
alasan harus berkerja.
Sejak kejadiaan itu banyak kejadiaan-kejadiaan yang muncul yang
membuatku merasa aneh dengan keluarga ini. Hingga keluargaku memutuskan
untuk tidak tinggal di rumah itu, aku meninggalkan tempat itu sejak aku
duduk di kelas 3 SD, masih dalam kota yang sama.
Waktu mulai menjawab satu persatu pertanyaanku yang tersebulung dalam
hati, aku mulai mengetahui kebenaran yang sungguh membuat hatiku pedih.
Bahkan tidak cukup dengan menangis aku merasa lega. Saat itu malam
semakin larut, dalam kelelapan tidurku, aku terjaga, aku tahu ada
seseorang yang datang kerumah. Dari suaranya Itu kakek! Dia menyebutkan
nama seseorang, Aminah! Aku tidak akan pernah lupa dengan nama itu.
Kakek bilang Aminah meninggal dunia karena melahirkan anakmu. Awalnya
aku tidak mengerti. Tapi perlahan aku paham, seiring suara isak tangis
dan kepergian Ayahku.
“Apa kau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat itu? Saat itu aku
harap adik-adikku tetap berada dalam tidur, dalam selimut mimpi indah.
Kemudian ayahku pergi meninggalkan kami begitu saja. Tapi apa kamu tau?
Dia bukan hanya mencampakkan kami karena lebih memilih tinggal bersama
anak-anaknya yang sudah tidak memiliki ibu. Dia memberi beban yang
membuat kami sesak! Aku bukannya tidak mau mengerti permasalahnnya,
hanya saja mengapa dia tega menimpakan semuanya kepada kami.
Tabungan pendidikan kami habis terkuras, sebagian besar barang
berharga telah terlelang, untuk menutupi hutang-hutang ayahku yang entah
untuk apa. Bisa kau perkirakan berapa besar hutang Ayahku? Beri tahu
aku berapa nilainya! Biar ku cari untuk menebus nyawa Mamahku! Kami
tidak pernah tahu soal ini sebelumnya, aku tahu ketika mamah jatuh
sakit. Kami mulai merasakan apa itu kelapan! Tapi ternyata Ibuku tidak
tahan hidup semenderita ini, akhirnya dia pun pergi meninggalkan kami
untuk selamanya.” Aku sudah tidak bisa membendung air mata dan
kekecewaan yang ku pendam selama ini.
“Aku kira dengan begini aku membuatku sedikit waras. Tapi tidak, lihat aku sekarang. Aku ini tidak lebih dari sampah.”
“Lalu kemana Adik-adikmu?”
“Adik-adikku mereka berada di bawah asuhan Kakek. Aku tidak mengerti bagaimana menata hidup normal seperti sediakala.” Ku tenggelamkan kesedihan ini dalam pelukannya. Hatiku masih seperti tertekan oleh sesuatu yang berat saat bercerita, mungkin isakan tangisku bukan hanya bisa didengar olehnya.
“Kamu memang tidak berasal dari buah yang bagus, tapi kamu pasti akan menjadi buah yang berguna. Tekadkan itu dalam hatimu!”
“Saat kamu merasa frustasi dengan keadaan, percayalah tidak semua orang merasakan apa yang engkau rasakan, maka bersyukurlah untuk itu, karena Tuhan sedang mengujimu dengan pukulan yang cukup menyakitkan, tapi jika engkau bisa melihat lebih bijaksana, maka ini hanyalah sebuah cubitan di pipimu. Masalah adalah cara Tuhan untuk membuatmu dewasa, jangan lari dari mereka tapi hadapilah. Hanya masalah yg membuatmu bijaksana.”
Aku tidak berasal dari pohon yang bagus tapi aku pasti akan menjadi
buah yang berguna. Maka aku mulai menata hidupku. Untuk adik-adikku,
untuk orang-orang yang masih memperdulikan keberadaanku. Apa yang
kupunya sekarang? Aku hanya memiliki Waktu, Pikiran, dan Tenaga. Akan ku
upayakan apa yang aku punya bisa membantuku, sedikitnya merubah yang
sudah terlanjur kacau balau. Meski puing kehancuran telah berserakan di
mana-mana, akan kucari puing yang paling kuat untuk menyusun pondasi
yang jauh lebih kuat!
<<<< SELSAI >>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar