Judul: Seandainya
Kategori: Cerpen Remaja, Cerpen Pendidikan
Penulis: Nurul Hidayah Rusli
Kategori: Cerpen Remaja, Cerpen Pendidikan
Penulis: Nurul Hidayah Rusli
Semakin hari semakin ku khawatir
memikirkan luka yang ada di pergelengan tangan ku ini akibat kecelakaan
beberapa bulan yang lalu, yah sekitar 3 bulan lah, waktu itu hari raya
idul fitri setelah sholat Ied ku sekeluarga menuju ke rumah nenek ku
yang ada di perkampungan Bacukiki, tiba di Bacukiki salah seorang teman
ku mengajak ku untuk jalan-jalan ke rumah teman ku yang lainnya tanpa
pikir panjang ku langsung menerima tawarannya dan segera kembali pulang
ke rumah.
Beberapa menit kemudian dia datang
menjemputku di rumah dengan memakai motor teman ku, di tengah perjalanan
aku merasa motor itu semakin cepat apalagi perjalanan pada waktu itu
penurunan pas memasuki jembatan “teeerrrtttss” motor yang kami kendarai
jatuh terperosok mungkin karena banyak pasir sehingga menjadi licin atau
memang benar kencang tapi aku sama sekali tak tau.
Aku berdiri dan langsung mengambil HP ku
yang tak jauh terlempar dari ku, aku tak tau sama sekali apa yang
terjadi, memang aku sadar tapi aku tak percaya ini, aku tak percaya sama
sekali aku kecelakaan, ini merupakan pengalaman pertama di hidupku. Ku
mencari teman ku yang juga jatuh orang-orang di sekitar situ berlarian
menolong kami, aku melihat teman ku yang tertindis motor dan masuk di
selokan, kami di ajak untuk istirahat dulu dengan orang tadi yang
menolong kami ternyata rumah yang kami tempati istirahat adalah rumah
teman Ibu ku, aku juga baru sadar ternyata tangan ku berdarah seperti
terlihat bocor, ku tak berani memegangnya karena ku memang takut oleh
darah terpaksa ku menyuruh orang yang tadi menolong ku untuk mencuci
darah dari tangan ku, ku menangis kesakitan, awalnya ku berencana ingin
menyembunyikan luka ini karena ku takut di marahi oleh ayah dan ibu ku
tapi setelah ku pikir-pikir lagi lebih baik ke dua orang tua ku tau
hingga akhirnya teman dari Ibu ku menelpon ayah ku untuk segera
menjemputku dan teenyata mereka sama sekali tidak marah hanya saja
mereka terus menasihati ku.
Kini luka ini terlihat seperti sembuh
namun jika di tekan terasa sakit dan juga luka ini berbekas timbul
seperti ada yang mengumpal di dalamnya, ayah dan ibu selalu mengajak ku
untuk periksa tangan ku ini tetapi ku selalu tak mau karena ku sangat
takut karena kata ibu jalan satu-satunya yaitu tangan ku ini hari di
sesek/iris agar di dalamnya dapat sembuh karena di dalamnya itu semacam
nanah. Pikiran ku kemana-mana jangan sampai tangan ku infeksi terus di
amputasi atau tidak bisa bergerak lagi, ku semakin takut dengan semua
itu pasti sangat sakit jika hal itu benar terjadi.
Sampai akhirnya ku mau tuk memeriksakan
tangan ku ini ke dokter, awalnya ayah hanya membawanya ke peraktek
karena di sana ingin mengambil rujukan ke rumah sakit, cukup lama
menunggu dokternya datang dan akhirnya pun dokter itu datang dan
memeriksanya sebentar lalu memberi ayah surat-surat tuk di bawa kerumah
sakit besok, ayah sempat bertanya tentang jurusan polinya/penanganannya
dan ternyata aku di tangani oleh dokter bedah, perasaan ku semakin
sedih, aku sangat takut.
Sampai di rumah ayah langsung
menceritakan kepada Ibu dan kakak ku terus saja mengejek ku dengan
masalah ini tetapi ku menghadapinya dengan santai, biarkanlah dia menang
malam itu.
Akhirnya hari itu tiba, ku semakin
takut. Jam telah menunjukka pukul 07:25 aku dan ayah segera berangkat ke
rumah sakit kami sengaja berangkat pagi-pagi agar tak terdahului oleh
banyak orang, ku berfikir ini terlalu pagi tapi ketika sampai sudah
banyak orang yang mengantri, ayah mengambil nomor urut yang telah
tersedia dan kami urutan ke 16 sangat lama apalagi pemanggilan urutan
baru saja di mulai tapi untung pake banget lah aku bertemu dengan
tetangga ku yang ternyata nomor urutannya 8, ketika tiba gilirannya ku
di panggil sama dia dan sekalian juga mengurus data ku, wah tidak
susah-susah lagi deh menunggu antrian. Setelah itu masih harus di daftar
lagi, cukup banyak orang tetapi ayah langsung sigap memberi data ku
tadi hingga akhirnya kami cepat selesai dan segera menuju di ruang
bedah.
Aku kira rasa menunggu ini sudah sampai
di sini, tapi ternyata dokter spesialis bedah belum datang,
“TikTokTikTok” sangat lama menunggu, jam sudah meunjukkan pukul 08;30
tetapi dokter itu belum datang, padahal dokter dari spesialis lainnya
sudah datang, bersabar bersama ayah hingga menunggu beberapa jam. Aku
sangat lelah sampai-sampai aku dehidrasi di sana, akupun menyuruh ayah
untuk keluar membelikan ku air minum dan kini tak terasa menunjukkan
pukul 10;30 ayah harus menjemput adik ku, aku pun di tinggal sendiri
sedangkan ayah berangkat menjemput adik ku, ayah hanya berpesan jika
dokter sudah datang masuk saja kalau namamu sudah di sebutkan.
Aku duduk dan terus memegang botol
minuman itu, aku sangat takut walaupun di sekitar ku banyak orang namun
mereka semua tak ku kenal, aku terus menunggu ayah, ku tatap lagi jam
tangan ku, 5 menit telah berlalu ku menoleh ke samping kiri ku melihat
seorang berpakaian putih datang jantung ku langsung berdetak sangat
kencang jangan bilang kalau ini dokternya aku sangat takut apalagi ayah
belum datang menemani ku, ia terus berjalan dan melewati ruang ‘Poli
Bedah’ akhhh leganya hati ini. 10 menit berlalu dan akhirnya ayah muncul
dan segera kembali duduk di sampingku.
Ku menatap wajah ayah yang sangat tampak
lelah, ku kasihan melihatnya ku juga kesal dengan semua ini kenapa
dokter itu belum juga datang aku juga sudah sangat lelah, ini merupakan
olahraga pantat, pantat ku sangat sakit dari tadi pagi hanya duduk.
Pukul 12;00 siang, ada ibu-ibu yang sudah sangat kesal dan segera
mencari info tentang dokter spesialis bedah tersebut dan ternyata dokter
itu sedang mengoprasi sekarang dan akan selesai kira-kira satu tau dua
jam lagi, aku sangat ingin pulang dan segera beristirahat tetapi ku
tatap wajah ayah masih bersabar menunggu dokter itu hingga perawat yang
berada di ruangan periksa memanggil dokter umum saja untuk memeriksa.
Tiba nama ku yang di panggil jantung ku sudah mulai berdetak sangat
kencang, ku memasuki ruangan dan duduk di depan dokter itu, untung
dokternya ramah jadi itu mengurangi beban ku sedikit, ia hanya
menuliskan resep obat di kertas dan memberikannya ke ayah dan berkata
“obat ini harus di habiskan agar mengurangi rasa sakitnya karena kita
akan tetap kerja tangannya, besok lusa kembali lagi kesini”
Ku rasanya ingin menangis saat tau
tangan ini akan di bedah sesuai kata Ibu waktu lalu ku sangat takut. Aku
dan ayah pergi membeli obat di apotek rumah sakit tersebut “astaga”
antriannya pengambilan obat banyak sekali, ayah mendaftar lagi dan
untung lagi orang itu menyuruh ayah membeli obat di apotek luar sehingga
tidak terlalu lama menunggu, ayah menyuruh ku menunggu di tempat parkir
dan segera membeli obat di didepan rumah sakit tapi ternyata bukan di
situ yang di maksud pengurus tadi dan ternyata apotek dekat ruang UGD,
ayah langsung menuju kesana aku lagi-lagi menunggu ayah, 10 menit
menunggu dan aku hanya berdiri berlindung di bawah pohon akhirnya ayah
datang, aku sangat lelah dan ingin memarahi ayah karena sangat lama
tetapi ku tatap wajah ayah dan ku berfikir sambil berkata dalam hati
“aku saja lelah apalagi ayah, yang nyatanya ayah dari tadi yang sibuk
mengurus kepentingan ku sendiri, ayah memang sabar. Maafkan aku ayah !
aku memang egois”
Ku sangat kasihan melihat ayah, kami pun
pulang kerumah. Aku langsung beristirahat begitupun dengan ayah. Kini
ku sadar pengorbanan orang tua itu bagaimana. Seandainya hari itu ku tak
pergi naik motor sama teman ku pasti tak ada luka di tangan ini,
seandainya tak ada luka di tangan ini pasti takkan membuang tenaga ku
dan ayah, jadi seandainya tak berawal dari kesalahan ku pasti takkan
pernah merepotkan ayah. Memang sejak kejadian itu sampai sekarang tak
ada sama sekali penyesalan yang terlintas di benakku hanya saja ku
berfikir ini lah hidup seperti roda yang berputar, terkadang kita di
atas maupun di bawah.
Penulis: Nurul Hidayah Rusli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar