Malam larut dalam kancah alam, lelaki itu belum tidur juga. Ia
menatap bintang di teras rumah kami, sambil membaca Al-qur’an kecil di
tangannya. Aku berusaha duduk di sampingnya, mencoba menemaninya
menghabiskan malam.
“Kenapa abang?” tanyaku.
Dia kelihatan gusar. Tak seperti biasanya, ia tenang-tenang saja.
“Cuma lagi mikirin sesuatu dik.”
“Tidak mau cerita? Ya sudah tak apa.”
“Takutnya kalau cerita nanti adik marah sama abang. Cemburu lagi.”
“Ya sudah, jika begitu.”
Enam bulan yang lalu, aku meminta laki-laki yang sekarang keliatan
gusar itu untuk melamarku. Sekarang statusnya adalah suamiku, meski
ketika kuliah dulu dan sama-sama aktif di S3 (Sanggar Seni Seulaweuet)
serta satu jurusan, aku pernah menyukainya. Ya, sangat suka dan sangat
cemburu saat ia dekat dengan Syifa teman satu kelasku.
“Kenapa sih bang?”
“Sebenarnya, abang sudah berusaha melupakannya dan memperbaiki diri,
tapi pertemuan tanpa sengaja tadi menyatakan abang belum bisa melupakan
ia.”
“Siapa?” tanya ku kesal.
“Tolong jangan marah dulu. Abang tahu, abang bukan yang terbaik buat
adik, tapi Abang sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Abang juga
manusia dik.”
“Tidak ada yang bilang abang malaikat kan? Siapa sih? Syifa ya?”
Siapa yang tidak kenal Syifa. Aktivis jempolan di BEM, juga di S3.
Dan ia dekat dengan Bang Noval, yang menjadi suami ku saat ini, adalah
mitra kerjanya selama empat tahun. Dan Aku sangat mengerti empat tahun
bukan waktu yang singkat. Semua teman-teman di kelasku mengatakan,
mereka solid, cocok, dan punya banyak kepentingan yang sama untuk saling
bekerja sama. Kata orang, Syifa orang yang professional, cerdas,
gampang bergaul, dan tak ada yang tidak mengenal wanita itu. Dia aktivis
jempolan di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Di S3 selalu bereksis
ria.
“Adik, apa adik menyesal menikah dengan abang?” tanyanya.
Aku kaget, lamunanku tercecer.
“Tentu tidak. Adik sangat mencintai abang, bahkan jauh sebelum abang
dekat dengan Syifa di kampus, ketika adik masih semester II.”
“Makasih, abang tau adik memang yang terbaik, seharusnya bukan abang yang sukses mempersunting adik.”
“Abang menyesal menikah dengan adik? Karena adik yang meminta abang untuk melamar adik?”
“Tentu saja tidak dik, tidak, hanya saja…..” Ia menggantung kalimatnya.
“Hanya apa bang?”
“Abang mencintai Syifa.”
“Pergilah padanya, jika memang begitu.”
“Abang tidak akan berpikir sepicik itu. Abang tetap akan bersama adik.”
“Tapi adik tidak mau bang, berada di bawah bayang-bayang Syifa. Jika abang memang menyukainya, kenapa tidak mencoba melamarnya?”
Aku tergugu, mencoba menyembunyikan air
mata di balik kedua telapak tanganku. Tapi, bagaimana pun ikhlas adalah
solusi untuk orang yang amat kucinta. Aku akan melakukan apa pun demi
kebahagiannya meski luka membiru di lembamnya hati.
*****
Satu bulan kemudian, Bang Noval berdebar menanti kabar tentang hasil lamarannya pada Syifa.
“Sudah siap mendengarnya abang?” tanyaku.
“Siap dik. Adik sudah ikhlas?”
“Iya, Bang.” Aku membuka surat yang di berikan Syifa.
Bang Noval diam seribu bahasa.
“Syifa tidak mau menerima keinginan abang.”
Ku lihat, Bang Noval kehilangan diri sesaat.
“Tapi…, kenapa?”
“Ia merasa menjadi penganggu dalam kehidupan kita. Lagi pula, ia
sangsi akan cinta yang ia punya sama Abang. Ia menunggu orang yang
benar-benar mencintainya dan menunggunya dengan sabar serta ia tidak mau
di madu.”
Setetes kurasa air mata Bang Noval menghujam kalbu ku. Ia menangis
karena aktivis jempolan itu menolaknya, bukan karena aku yang selalu
setia menunggunya bahkan memintanya untuk menjadikan aku pendamping
hidupnya, untuk menggenapkan Dien. Menyesalkah ia? Entahlah, dunia terasa gelap untuk ku.
*****
Waktu berjalan sebagaimana mestinya. Aku sedang duduk membaca koran
pagi itu, ketika sebuah berita tentang rohingnya terpampang manis di
sana.
Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla mengungkapkan konflik Rohingnya, Myanmar tidaklah seberat Konflik Poso-Ambon.
“Poso-Ambon lebih berat, masing-masing pegang senjata. Ribuan
orang yang tewas. Kalau di Rohingya tidak ada yang pegang senjata. Yang
tewas juga 80-an,” ungkap mantan Wakil Presiden ini kepada wartawan saat
dihubungi, Jakarta, Kamis (16/8/2012).
Lebih lanjut, JK juga menegaskan bahwa konflik Rohingnya tidaklah konflik antar agama. Melainkan konflik antar dua etnis.
“Adik…” panggil Bang Noval dari dalam rumah.
“Iya…, ada apa abang?” Aku tergopoh-gopoh menghampiri lelaki tinggi kurus itu.
“Tahu apa yang dikatakan Syifa tentang konflik Rohingnya?”
Aku menautkan alis, kemudian mengangkat bahu tanda tidak peduli sama sekali.
“Dunia internasional, khususnya Barat, tidak pernah bersikap adil
terhadap umat Islam. Buktinya tak ada satu pun pemimpin negara barat
yang mengecam aksi genosida terhadap muslim Rohingnya di Myanmar. Ini
menimbulkan ironi. Kenapa dunia internasional diam saja? Coba lihat, ini
statusnya di Facebook. Lihat juga komennya, sungguh ramai.”
Bang Noval tersenyum sumingrah, membuatku tambah mual mendengar nama
Syifa. Kenapa harus ada orang yang seperti dia.
“Negara-negara Barat memiliki standar ganda dalam melihat persoalan
HAM. Misalnya mencontohkan, bagaimana kerasnya kecaman Barat (negara
Eropa dan Amerika Serikat) ketika pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Su
Kyi ditahan. Namun ketika di negara yang sama terjadi pemberangusan
nyawa umat Islam, dunia Barat diam saja.” cerocos ku sambil berlalu.
“Eh…, adik tau juga ya? Wah…” Ia menatapku dengan mata membulat.
“Iya dong. Emang aktivis jempolan kayak Syifa aja yang boleh tahu? Aku juga dong bang. Aku kan muslim!” ujar ku agak gondok plus cemburu, karena Bang Noval terlalu membanggakan Syifa.
“Iya, abang tahu adik juga pinter kok. Lihat lagi dik, ini status Syifa terbaru: Berbicara
tentang Muslim Rohingnya di Myanmar alias Burma adalah berbicara
tentang kemanusiaan. Agama ketika dijadikan dasar berbangsa dan
bernegara hasilnya konflik Bosnia-Serbia. Konflik Maya-Spanyol. Konflik
Perang Salib Islam-Kristen. Konflik Hindu-Islam di India. Konflik
Katholik-Kristen di Irlandia-Utara. Bentrokan Islam-Kristen di Nigeria.
Konflik Romawi-Persia. Itu semuanya adalah konflik dalam sejarah manusia
karena keyakinan. Kerenkan?”
Aku diam saja, acuh tak acuh. Lihat saja, akan ku buktikan ke Syifa
dan Bang Noval, bahwa aku lebih baik dari aktivis yang di cap jempolan
itu.
“Muslim Rohingnya adalah sekelompok manusia terbuang identitasnya.
Mereka berbahasa berbeda dengan sebagian bahasa rakyat Myanmar. Status
Rohingnya adalah status minoritas tanpa bentuk. Bangladesh tidak
mengakui kedekatan mereka sebagai bangsa Bangladesh. Myanmar tidak
mengakui mereka sebagai bangsa Myanmar. Kedekatan budaya dan agama
dengan Bangladesh, yang mayoritas Islam tidak membuat Bangladesh iba.
Dunia internasional diam soal Rohingnya. Sama halnya dunia internasional
diam ketika Taliban, di bawah tekanan Osama bin Laden, Mollah Umar
menghancurkan patung Budha di Afghanistan. Kabarnya, orang Afghanistan
tidak setuju sebenarnya dengan penghancuran patung Budha itu. Dalam
keyakinan budaya atau Islam Arab, patung adalah ‘berhala’ yang wajib
dihancurkan, pada tanggal 2 Maret 2001. Penggunaan dinamit gagal
menghancurkan muka dan badan patung Budha, yang dibangun pada abad ke-5,
ratusan tahun sebelum kedatangan Islam. Lalu roket diluncurkan untuk
menghancurkan patung Budha itu. Mullah Omar menyatakan, seperti dikutip
Wikipedia dari The Times: Muslim harus bangga telah
menghancurkan patung-patung berhala itu. Tindakan penghancuran ini
diridhoi Allah karena kita telah menghancurkan berhala,” cerocos ku ber hap-hip-hop, meski kurang nyambung dengan apa yang sedang di bahas. Yang penting aku harus bependapat.
“Para Bhikhu yang memainkan peran penting dalam perjuangan terakhir
Birma untuk demokrasi, telah dituduh memicu ketegangan etnis di
Birma dengan menghimbau orang untuk menghindari komunitas Muslim yang
telah menderita puluhan tahun akibat penindasan. Banyak pengamat yang
terkejut dengan sikap beberapa organisasi biarawan yang telah
mengeluarkan pamflet, memberitahu orang-orang untuk tidak bergaul dengan
masyarakat Rohingya. Mereka juga memblokir bantuan kemanusiaan. Salah
satu selebaran menggambarkan Rohingya sebagai ”manusia kejam secara
alami” dan digambarkan sedang merencanakan untuk “membasmi” kelompok
etnis lain. Meningkatnya serangan terhadap Rohingnya, yang digambarkan
sebagai kelompok yang paling tertindas di dunia, terjadi beberapa minggu
setelah kekerasan etnis di Rakhine State. Dikabarkan, lebih dari 80
orang terbunuh, lebih dari 100 ribu muslim Rohingnya hidup dalam kondisi
putus asa.” sambung bang Noval.
Diskusi tentang Rohingya berlangsung seru, hingga Bang Noval menerima
telepon tepat jam 9 pagi dan raut mukanya langsung berubah keruh.
“Tidak mungkin…” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya dan setelah
itu berhari-hari kemudian ia tidak pernah berbicara lagi, seolah-olah
menjadi bisu.
Selidik punya selidik, ternyata Syifa sudah pergi ke Rohingnya untuk
menjadi relawan disana dan tentu saja belum bisa di pastikan ia bakal
kembali dengan selamat atau tidak. Dan kurasa setetes air mata Bang
Noval. Diamnya ia beberapa hari setelah menerima telepon itu,
menumpahkan garam luka di kalbuku. Ia menangis karena aktivis jempolan
itu menolaknya dan pergi meninggalkan tanah air untuk berjihat.
Lagi-lagi bukan karena aku yang selalu setia menunggunya, bahkan
berusaha menjadi seperti yang ia inginkan. Menyesalkah ia menikahiku?
Entahlah, kurasa dunia bukan lagi untukku. Semuanya gelap. Laki-laki itu
hanya mengenang mantanya, aktivis itu.
Aku sudah melihat air matamu
Di selat sunda
Namun aku membiarkannya terhayut terbawa badai
Air mata itu menjauh hingga ke Hawai
Aku tak bisa melihatnya lagi
Karena ia telah pergi jauh sekali dariku
Sejauh mataku tak sanggup memandang
Membuat lara kian lambay…
di bayangan si aktivis jempolan